Keajaiban Dari Sungai Han

Written by Akhyari Hananto Administrator at GNFI
Share this
0 shares
Comments
1 replies

By Akhyari Hananto

Menjelang siang hari,  10 Desember 1964 di kota Hamborn, Jerman Barat, seorang lelaki Asia yang tinggi tegap memasuki sebuah ruangan yang dipenuhi oleh sekitar 300-an penambang dan perawat dari Korea Selatan. Semuanya adalah para pekerja dari Korsel yang sedang menjadi tenaga kerja di Jerman Barat.

 

Lelaki berwajah serius ini berhenti sebentar di depan pintu, seolah mengatur nafas, dan kemudian masuk ke ruangan  dan diikuti riuh tepuk tangan dari seisi ruangan. Pria paruh baya yang mahal senyum itu adalah Park Chung-hee, presiden Korea Selatan, yang berkunjung ke Jerman Barat dalam rangka meminta bantuan keuangan untuk pembangunan ekonomi negaranya. Di ruangan itu, sang presiden kemudian berdiri tegap di depan para hadirin saat sebuah grup band yang terdiri dari para penambang membawakan lagu kebangsaaan Korea Selatan, “Aegukga”, yang bermakna “Lagu Patriot”. Saat band menyanyikan bait terakhir lagu kebangsaan tersebut, seisi ruangan terdengar isak tangis. Sang presiden yang selalu terlihat tegang dan serius itu tampak menyeka air matanya dengan kain yang diberikan istrinya, dan kemudian maju ke podium, dan memberikan pidato singkat, dengan suara terbata-bata.

Pidato itu kemudian dikenang sebagai salah satu moment paling penting dalam sejarah kemajuan ekonomi Korea Selatan.

“Let’s work for the honor of our country. Even if we can’t achieve it during our lifetime, let’s work hard for the sake of our children so that they can live in prosperity like everyone else” (Mari bekerja keras untuk kehormatan bangsa kita. Meskipun bisa jadi kita tak bisa mencapainya di masa hidup kita, mari bekerja demi anak cucu kita, agar mereka bisa hidup dalam kemakmuran, seperti orang-orang lain di dunia).

Matanya kembali berkaca-kaca. Di hadapannya, berdiri orang-orang yang menjadi pahlawan finansial bagi bangsanya, merekalah yang mengirimkan setidaknya US$50 juta selama mereka bekerja di Jerman Barat, jumlah yang sangat besar waktu itu untuk negara baru Korea Selatan, mencapai 2% dari seluruh PDB Korea Selatan saat itu.

Sang presiden kemudian memandang seorang anak muda yang tubuhnya kurus di depannya, dan dengan penuh emosi dia meminta semua orang untuk bersabar, dan terus bekerja keras, dan inilah janjinya yang selalu diingat orang “We will together create a prosperous nation with “happy homes filled with bright smiles”. (Bersama kita ciptakan tanah air yang makmur dengan rumah-rumah dipenuhi dengan senyum lebar).

Di saat itulah, secara spontan para penambang dan perawat itu kemudian menawarkan upahnya untuk dijadikan jaminan agar Jerman Barat bersedia memberikan bantuan keuangan kepada Korsel.

Akhirnya bantuan itu kemudian benar-benar cair.

Inilah moment beberapa menit yang paling diingat oleh bangsa Korea Selatan saat itu, moment yang menjadi saksi terbangunnya ikatan batin yang kuat antara pemimpin dengan rakyatnya, dan terbentuknya keinginan kuat dan pengorbanan dari rakyat Korea Selatan untuk bisa memperbaiki nasib, dan mencapai kemakmuran.  Korea menggunakan pinjaman dan bantuan luar negeri, dan perasaan senasib seperjuangan yang kuat di antara rakyatnya, menjadi bahan bakar bagi determinasinya untuk terus membangun.

Dan 50 tahun lalu, Korea Selatan adalah salah satu negara paling miskin di dunia, dengan pendapatan perkapita hanya $87. Di seluruh Korea, hanya ada 50-an perusahaan yang memperkejakan 200-an karyawan, sungguh sama sekali tidak cukup untuk mengangkat ekonomi negara yang masih porak poranda dihancurkan perang. Saking miskinnya, Korea saat itu dijuluki sebagai “the hellhole of foreign assistance” (lubang neraka untuk bantuan asing), “a bottomless pit” (lubang tanpa dasar) , and “a hopeless case” (tempat yang tanpa harapan), dan lain sebagainya.

Siapa sangka, 40 tahun kemudian, Korea Selatan merangsek menjadi negara industry yang maju, dengan pendapatan tinggi, dan salah satu negara dengan tingkat dan kualititas pendidikan yang paling baik. Waktu itu tak satupun yang mampu membayangkan, bahwa kemajuan dan kemakmuran yang dijanjikan oleh Park Chung-hee di depan 300-an penambang dan perawat di kota Hamborn, Jerman itu, bisa diraih kurang dalam satu umur generasi. Kini pendapatan perkapita Korsel mencapai $25,000, dan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-15 di dunia. Korea kini dikenal sebagai negara Industri maju dengan brand-brand yang dikenal di seluruh dunia. Kita mengenal Samsung, LG, Kia, Hyundai, juga industry kreatifnya. Seoul, Busan, dan lain-lain adalah kota-kota yang sangat modern, bersih, dengan standar hidup sangat tinggi. K-Pop, film-film Korea, dan kartun-kartun dari Korea bisa kita jumpai hampir dimanapun di seluruh dunia. Semua negara yang sangat well-organized, dan can-do.

Sekali lagi, mereka memulainya dari nol 50 tahun lalu.

Apa yang Korea miliki sehingga bisa maju secepat itu? Seorang ekonom kenamaan dunia dari AS bernama Irma Aldeman mengatakan bahwa asset terbesar dari Korea Selatan saat itu adalah harapan, optimism, keinginan kuat, dan kerja keras untuk menjadi negara maju dan disegani. Selain dari itu, Korsel tak punya apapun.

Apa pelajaran yang bisa kita, bangsa Indonesia, petik dari “The Miracle of Han River” ini?

Sesungguhnya modal kita saat ini teramat besar, jauh lebih besar dari yang dimiliki Korea Selatan pada tahun 1964 itu. Kita tidak ‘semiskin’ Korea saat itu, pun tak juga habis dilanda perang, jalan menuju kemajuan sudah tersedia. Yang mungkin masih belum kita punya, adalah percaya bahwa negeri ini bisa maju dan rakyatnya makmur, semangat untuk ‘bersusah-susah dahulu’ dengan berkorban demi pembangunan, dan komitmen dari semua elemen bangsa; pemerintah, rakyat; untuk sama-sama bergerak maju; menarik yang tertinggal, mengambil yang tercecer.

Dari semua itu, mungkin terus menjaga optimism dan tak hilang harapan, adalah yang paling penting. Dan itu bisa kita mulai dari diri kita sendiri.

Tulisan ini termasuk dalam buku “Indonesia Bersyukur”

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ