Mahakarya di Atap Pulau Jawa
By Wira Nurmansyah | twitter: @wiranurmansyah
(Catatan perjalanan Wira Nurmansyah, pencinta alam sekaligus fotografer profesional)
“TAHAN, TAHAN!” tiba-tiba seseorang berteriak dari atas.
Saya menghentikan langkah, tiba-tiba hujan abu berdatangan dari atas. Saya berbalik arah dan melindungi wajah. Cukup lama debu itu menyerang, kemudian saya kembali menatap ke atas. Tubuh saya gemetar melihat penatapan itu.
Sebuah bayangan hitam besar nampak mengeluarkan awan yang bergerak cepat mengikuti angin. Ia tepat berada di atas saya. Sungguh mengerikan.
“JANGAN NAIK DULU, ARAH LETUSAN KEMARI!” orang diatas itu berteriak kembali.
Suasana menjadi mencekam. Waktu sudah lewat dua jam tengah malam. Saya, dan tiga orang sahabat berhenti di tengah jalur pasir yang mengerikan ini. Nampak semua pendaki juga menghentikan langkahnya.
Saya tak bicara apapun. Duduk di tengah trek pasir dengan elavasi sekitar 60 derajat dengan angin kencang ditambah udara dingin cukup membuat saya terdiam. Saya memakan beberapa kurma untuk sekedar menambah tenaga. Bulan dan bintang sungguh indah dari ketinggian lebih dari tiga ribu meter ini.
**
Saat-saat seperti ini yang kemudian membuat saya berfikir, “Saya ini lagi ngapain, sih?”
Saya juga heran, bercampur rasa tidak percaya, kok bisa-bisanya saya tengah malam begini ada di ketinggian lebih dari tiga ribu meter. Kiri-kanan jurang, lengah sedikit goodbye. Batu-batu besar menggelinding di atas pasir yang rapuh siap menerkam siapa saja. Dan ditambah si wedus gembel Mahameru yang setiap saat bisa berbalik arah menuju jalur pendakian ini.
What the hell are you doing here, mate?
Bukan hanya sekali ini saja pertanyaan seperti itu muncul, beberapa destinasi lainnya juga membuat pertanyaan ini muncul dengan sendirinya. Dan setiap itu muncul, rasa kangen ke orang-orang terdekat menjadi berlipat ganda. Juga rasa syukur terhadap Tuhan, yang masih memberikan kita nafas hingga saat ini menjadi sangat berarti.
Namun, menurut saya justru momen-momen seperti ini yang membuat perjalanan semakin berkesan dan lebih indah dikenang.
**
Dingin menembus tiga lapis jaket yang saya kenakan. Saya sudah menunggu hampir setengah jam, belum juga ada kabar dari atas sana. Hujan abu kembali menyerang. Beberapa pendaki tidak ingin mengambil resiko dan kembali turun.
Tetiba saya teringat seorang sosok aktivis mahasiswa era orde lama, Soe Hok Gie , yang tewas disini akibat menghirup asap beracun mahameru.
Perasaan saya makin bercampur aduk. Antara tetap naik atau kembali turun. Tapi sudah sejauh ini, saya membulatkan tekad untuk tetap menginjakan kaki di tanah tertinggi pulau Jawa ini.
“Ayo, lebih baik kita naik terus, daripada beku disini,” rekan saya berkata. Tanpa menjawab, kami mulai melangkahkan kaki lagi.
Jalur semeru ini sungguh ‘asyik’. Setiap tiga langkah melaju, akan terpersok dua langkah. Bahkan, terkadang langkah kita menjadi sia-sia, naik tiga tapi terperosk tiga. Saya bahkan terkadang berjalan dengan empat kaki, merangkak. Supaya pijakan lebih kuat.
Akhirnya ada teriakan dari atas bahwa sudah ada yang mencapai Mahameru, dan mereka bilang, “ARAH ANGIN AMAN, LANJUTTT!”
Saya tersenyum dan kembali bersemangat.
Saya pakai cara ini : 5 langkah berjalan, 10 detik istirahat ambil nafas. Kalau tenggorokan kering, minum seteguk. Ulangi terus hingga sampai puncak. No turning back!
Tetapi, saya kembali telat kali ini untuk melihat mentari muncul dari Mahameru. Masih beberapa puluh meter lagi. Saya berhenti sejenak untuk solat subuh, dan juga mengabadikan salah satu landscape terindah tanah air ini.
Setelah matahari muncul, jalur ini terlihat menjadi lebih mengerikan daripada saat gelap malam tadi.
Terik matahari mulai membuat suasana menjadi hangat. Sekitar pukul tujuh saya akhirnya menginjakan kaki di Mahameru. Tanah tertinggi di Pulau Jawa. Sebuah potret mahakarya Tuhan untuk negeri beribu pulau ini.
Terlihat beberapa orang berpelukan dengan haru. Rasa puas terlihat di wajah mereka karena telah berhasil menaklukan diri mereka dan mencapai batas-batas yang jarang mereka lalui.
Mungkin inilah yang dicari orang saat pergi ke tempat-tempat seperti ini. Pencarian jati diri dan pembuktian bahwa kita ini memang sangat kecil jika dibandingkan oleh yang Maha Besar di atas sana.
Terima kasih Mahameru.
:)
Cerita sebelumnya : Di bawah dinginnya kabut pagi Ranu Kumbolo
READ ME!
Tentu teman-teman sudah tahu tragedi Andika, mahasiswa UGM yang tewas di Gunung ini karena tersasar saat turun dari Puncak 2009 silam. Ia salah mengambil jalur, karena banyak percabangan yang memang agak membingungkan, juga cuaca buruk yang mengahalangi pengelihatan. Ia terlalu melipir ke kanan dan akhirnya jatuh di jurang sedalam 75 meter.
Agar tidak tersesat lakukan hal berikut ini :
- Jangan turun sendirian!
- Lakukan orientasi terlebih dahulu, pintu masuk ke hutan arcopodo adalah arah UTARA kompas. Dahulu ada cemara besar (cemoro tunggal) yang menjadi patokan, namun saat ini pohon tersebut telah tumbang.
Advertisement Advertise your own
0 Komentar
READ NEXT
BACK TO TOP