Founder Stories Geekhunter: Antara Diary dan Drama

Written by Hafiz Alifiarga Subscriber at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Karena Hari Kartini baru berlalu beberapa hari, di Founder Stories kali ini kami memutuskan mengangkat profil Founder startup wanita. Ken Ratri Iswari dari startup konsultan bagi perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja Geekhunter berbagi cerita seputar pengalaman kewirausahaannya kepada Tech in Asia. Mulai dari mimpi yang tertuang di buku harian, sampai drama percintaan. Penasaran? Simak penuturan lengkapnya.

Menggores mimpi di diary

Jauh sebelum media sosial populer, ada medium untuk menuangkan curahan hati yang sempat menjadi primadona di kalangan generasi 90-an, diary atau catatan harian menjadi ajang berekspresi dengan teman. Bila Anda sempat memiliki buku itu di masa lalu, maka cobalah untuk membukanya lagi. Barangkali mimpi di masa lalu adalah cerminan Anda hari ini. Hal yang sama juga terjadi pada Ken. Wanita kelahiran 18 Juli 1986 ini mengaku menemukan diary-nya ketika masih berseragam putih merah saat pindahan rumah. “Waktu itu saya menulis cita-cita saya adalah business women,” kenangnya membuka percakapan. Ken sendiri mengakui keinginan untuk memasuki ranah wirausaha sudah sangat kuat sebelum istilah entrepreneur dan startup populer. “Bisa dibilang itu mimpi karier saya, meskipun pada saat itu belum ada bayangan startup seperti apa yang ingin saya buat,” tambahnya.

Meninggalkan “kursi” yang nyaman

Ken menempuh kuliah S1 di SBM Institut Teknologi Bandung (ITB), seusai kuliah ia tidak langsung merintis bisnis, namun memilih untuk bekerja di salah satu perusahaan consumer goods sebagai Account Manager. Bahkan ketika ia melanjutkan kuliah S2 di ITB, Ken sudah menjadi Recruiter untuk sebuah perusahaan minyak asal Belanda. Namun kenyamanan yang didapat dari duduk di kursi empuk perusahaan-perusahaan besar yang menjanjikan ini tidak membuatnya puas. “Dari awal cita-cita saya bukan untuk bekerja di perusahaan orang. Semua saya tinggalkan demi bisa fokus memulai karier entrepreneur saya,” kata Ken.

Sempat jatuh, tapi tidak lantas rapuh

Bagi seorang entrepreneur konon kegagalan adalah teman di keseharian. Ken pun sempat mengalami sejumlah kegagalan merintis berbagai startup. “Pertama kali membuat startup itu tahun 2005 bersama teman-teman kuliah. Namanya Don Company dan produknya adalah CosMo (Custom Mosaic), sebuah startup mozaik foto,” jelasnya. Startup pertamanya itu berbuah keuntungan Rp120 juta yang ia gunakan untuk community development di salah satu desa di daerah Ciwidey, Kabupaten Bandung.

Setahun berselang, Ken mencoba peruntungan di ranah fashion dengan membuat clothing line Drama Queen. Namun kali ini ia harus merasakan kegagalan akibat adanya perbedaan konsep dengan rekan bisnisnya akhirnya usaha ini mandek. “Ini tidak membuat saya kapok sih, habis itu di tahun 2008 saya membuat situs directory listing khusus daerah Bandung bernama Ngubek.com,” ucapnya. Kali ini Ken harus gagal lagi karena pada saat itu banyak orang yang belum paham akan pentingnya internet apalagi beriklan di sana. Pendanaan yang terbatas membuat Ngubek.com harus berhenti di tengah jalan. “Terakhir sebelum Geekhunter, di tahun 2011 saya menjadi salah satu Co-Founder dari inkubasi startup asal Denmark yang berlokasi di Bali,” tambahnya.

Namun dari sekian banyak pengalaman unik mendirikan startup, ada satu kejadian yang selalu diingatnya. Bukan karena tidak adanya pendanaan atau masalah teknis lainnya, namun karena ada drama di antara Founder.

Jadi saya pernah membuat startup bersama tiga orang teman saya. Namun di tengah jalan terjadi konflik dan drama percintaan, tepatnya cinta segitiga antar Founder sehingga akhirnya startupnya bubar jalan.

Sampai hari ini Ken mengaku tidak pernah lupa dengan kejadian itu, sebagai bagian dari kisah masa muda. “Kalau diingat-ingat rasanya dulu remaja labil banget, bubar jalan gara-gara masalah cetek,” kenangnya.

Belajar dari Kumar Mangalam Birla

Peran role model diakui Ken sebagai salah satu elemen penting bagi seorang entrepreneur, ia sendiri mengaku Kumar Mangalam Birla adalah salah satu sosok yang paling menginspirasi dirinya. Salah satu yang paling menarik menurut Ken adalah strategi bisnisnya mereformasi Aditya Birla Group, sebuah perusahaan konglomerasi asal India. Dengan gaya kepemimpinannya, perusahaan tersebut menjadi perusahaan multinasional di lebih dari 40 negara dengan 130.000 karyawan dengan pemasukan yang naik 20 kali lipat.

Saya sempat membaca studi kasus tentang dia ketika saya mengenyam pendidikan di MBA ITB. Saat usia Kumar Mangalam Birla 28 tahun, ayahnya yang konglomerat meninggal dunia sehingga dia harus take over tampuk kepemimpinan perusahaan saat itu. Banyak orang yang meragukan dia dapat memimpin perusahaan, tidak sedikit cibiran dan cemoohan orang-orang akan keputusan-keputusan strategis yang dia ambil. Saham perusahaan bahkan sempat anjlok 37 persen. Namun pada akhirnya dia berhasil membuktikan dengan prestasi. Sayang, sekarang dia terindikasi terlibat coal gate.

Waktu luang dan cara mengawali hari

Di sela kesibukan Ken dengan Geekhunter, ternyata ia masih menyempatkan diri menjadi dosen muda di ITB. “Saya mengajar beberapa mata kuliah seperti Human Capital Management, Strategic Change Management, Organizational Development, People and Organization Behavior dan Business Leadership,” ungkapnya. Selain itu di sela waktu luangnya Ken biasa berlibur, “Saya senang sekali jalan-jalan ke pantai dan ke pulau-pulau kecil untuk sekadar island hopping atau snorkeling. Dalam waktu dekat rencananya saya mau eksplorasi Maluku dan Indonesia Timur,” tambahnya.

Penggemar Calvin Harris dan David Guetta ini mengaku tengah menikmati buku 4 Hours Work Week dari Tim Ferris. “Judulnya provokatif sih dan tagline Escape 9 to 5, live everywhere and join the new rich membuat saya cukup penasaran dengan konsepnya.

Sebelum mengawali hari, Ken biasa memutar lagu-lagu yang enerjik untuk membangkitkan mood. Selain itu sarapan adalah keharusan baginya. “Meskipun hanya roti atau sereal, itu harus sih. Oh ya, dan membuat daily work plan,” tuturnya.

Takut kehilangan

Meski sudah berkali-kali mengalami kegagalan dan tetap terus melangkah ke depan, bukan berarti Ken terbebas dari rasa takut. Ia mengaku tetap memiliki rasa itu, “Takut kehilangan tepatnya. Tim yang tergabung di dalam Geekhunter adalah partner kerja saya. Salah satu ketakutan terbesar saya adalah jika saya harus kehilangan satu dari mereka,” jelasnya. Bagi Ken, sumber daya manusia di Geekhunter adalah aset terpenting yang tidak tergantikan. “Kami juga tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan Geekhunter. Rasanya sudah seperti keluarga sendiri.”

Ken pun memiliki cara jitu untuk mengatasi ketakutannya ini. Yaitu dengan menjadikan kepuasan staf sebagai model bisnis. “Setiap bulan saya selalu mengecek dan memastikan happiness index semua partner saya supaya bisa memastikan mereka senang bekerja di Geekhunter. Happy people are more productive,” tutupnya.

source : http://id.techinasia.com/kisah-sukses-ken-ratri-iswari-founder-geekhunter/

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ