Sampyong, Seni Pertarungan Tradisional dari Majalengka

Written by Bagus Ramadhan Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Indonesia memang sangat kaya dengan kesenian. Meski banyak kesenian tradisional tersebut yang berjuang untuk bertahan melawan modernitas permainan dan kesenian berbasis teknologi. Sehingga kita perlu untuk kembali mengenal kesenian-kesenian tradisional tersebut. Salah satunya adalah kesenian ketangkasan bertarung ujungan, atau yang lebih dikenal dengan nama Sampyong.

Sampyong merupakan permainan tradisional adu ketangkasan dan kekuatan memukul atau dipukul lawan dengan menggunakan alat yang terbuat dari rotan yang berukuran 60 cm. Permainan dilakukan antara dua orang yang saling berhadapan, baik laki-laki maupun perempuan, dipimpin oleh seorang wasit yang disebut malandang. Kedua pemain menggunakan teregos, yaitu tutup kepala yang terbuat dari kain yang diisi dengan bahan-bahan empuk sebagai pelindung kepala atau dikenal pula dengan sebutan balakutal.

Sampyong

Kesenian Sampyong (Foto: Forumnusantaranews.com)

Sasaran pukulan pada permainan ujungan tidak terbatas, dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa di tangkis. Seorang pemain dapat memukul lawanya sebanyak-banyaknya, atau bahkan dipukul sebanyak-banyaknya, hingga salah seorang diantaranya dinyatakan kalah karena tidak lagi kuat menahan rasa sakit akibat pukulan lawan. Namun ujungan ini sudah mulai ditinggalkan dan lebih sering disebut dengan Sampyong.

Permainan Sampyong, yang mempunyai arti; Sam = Tiga dan Pyong = Pukulan ini selalu diiringi dengan gamelan. Iringan ini merupakan perangkat yang tidak bisa ditinggalkan dalam seni Sampyong. Selain itu untuk menarik minat penonton untuk datang, tetabuhan ini juga semakin menambah semangat para pemain.

Uniknya, pukulan ke arah lawan harus disesuaikan dengan ketukan irama gamelan. Setiap peserta memiliki kesempatan untuk memukul tubuh lawannya dengan rotan sebanyak tiga kali. Permainan diakhiri jika salah seorang pemain sudah dapat memukul lawannya tiga kali. Keunikan inilah yang kemudian beberapa orang menyebut sampyong lebih seperti tarian daripada sebuah pertarungan.

Jika dulu tradisi ini dilakukan setelah masa panen, saat ini pertunjukan sampyong hanya dipertunjukkan pada even-even budaya atau festival saja. Sehingga sudah tidak banyak para jawara yang meneruskan kesenian ini.

Jawara adalah mereka yang meskipun terkena sabetan rotan akan mengalami memar dan kesakitan, para pemain dari permainan atau seni ketangkasan itulah yang dianggap sebagai jawara karena dianggap memiliki nyali yang besar.

 
1 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ
GNFI
GNFI

Mengenal Rafflesia yang tumbuh di Taman Nasional Meru Betiri. bit.ly/1i0uks4 pic.twitter.com/Rm784y9hS4