Wacana Pendidikan Multietnik di Indonesia (Dosen STAIN Jurai Siwo Metro)

Written by Abdul Mujib Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Pendidikan Multietnik relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan Multietnik yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional. Pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang Multietnik . Bila bangsa ini ingin menjadi kuat dalam era demokrasi, diperlukan sikap saling menerima dan menghargai dari tiap orang yang beraneka ragam itu sehingga dapat saling membantu, bekerja sama membangun negara ini lebih baik. Memang kita sudah mempunyai dasar filosofis negara, Pancasila yang diimplementasikan dalam UUD 1945. Namun, dasar itu akan kuat bila sikap menghargai orang lain dikembangkan. Terjemahan dari visi pendidikan Multietnik, sebagaimana menjadi banyak tawaran dan gagasan para ilmuwan selama ini, dalam kontek Indonesia mempunyai keserasian filsafati dari pesan dan nilai-nilai dasar Pancasila. Pada beberapa tema substansi dan semangat pokok, terdapat kesamaan unsur-unsur usaha. Hal ini bisa dikaji dalam dimensi-dimensi yang sangat mendasar seperti; ketuhanan, kemanusiaan, kebangsan/kerakyatan, demokrasi dan keadilan sosial. Tema-tema besar tersebut, secara implisit menjadi pesan bagi pencapaian visi pendidikan Multietnik, dan itu sepaham dengan ajaran Pancasila. Sejalan dengan pemikiran Purwasito terkait dengan bentuk sosialisasi dan membudayakan sharing of culture antar etnis, akan lebih tepat jika materi yang diajarkan berlandaskan dasar-dasar falsafah pancasila, sehingga dalam sosialisasi tersebut tidak terjadi superioritas budaya tertentu dan dianggap inferioritas pada budaya lain. Sosialisasi dapat dilakukan dengan mendekatkan berbagai gagasan dan keyakinan yang tumbuh dan berkembang dalam etnisitas, membuka cita-cita, harapan-harapan hidup yang dimiliki oleh setiap individu dari setiap daerah. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etnisitas”.

Written by Abdul Mujib Member at GNFI

Bekerja sebagai Dosen di STAIN Jurai Siwo metro Lampung, Sedang menempuh pendidikan Doktoral proses penyelesaian Disertasi

More post by Abdul Mujib