“Rumah Besar ini Milik Kita”

Written by Akhyari Hananto Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
1 replies

By Akhyari Hananto

Ada pepatah yang mengatakan bahwa kecintaan pada bangsa dan negara justru akan tumbuh ketika kita tinggal di luar negeri.Saya termasuk orang yang meyakini bahwa hal itu benar adanya, bukan hanya karena saya pernah tinggal cukup lama di luar negeri, tapi juga banyak orang Indonesia yang saya temui di luar sana mengakui hal yang sama.

—–

“Dari Indonesia ya, Mas?” suara itu terdengar dari meja saya duduk saat sedang menikmati kopi saya di sebuah coffeshop di jalan antara Leicester dan London, beberapa tahun lalu. “Iya, pak..saya dari Jogja” jawab saya sambil menoleh ke belakang. Yang saya lihat adalah seorang paruh baya yang mengenakan pakaian sangat formal, duduk di meja sebelah bersama 3 asistennya yang orang bule. Saya diundang untuk bergabung bersama di meja beliau sambil menyeruput kopi di dinginnya udara Inggris yang sedang bersalju. Dan kami mulai berbincang mengenai banyak hal, mulai dari sepakbola hingga harga BBM. Dari perbincangan panjang tersebut saya ketahui bahwa beliau telah hampir 20 tahun di Inggris, bekerja sebagai seorang petinggi di sebuah perusahaan farmasi terkemuka, dan beliau telah menjadi warga negara Inggris sejak lama.

Kemudian, sampailah saya pada sebuah pertanyaan yang pasti selalu saya tanyakan ketika saya berjumpa orang Indonesia (atau keturunan Indonesia) di luar negeri. “Apakah Bapak tidak kangen tanah air?” tanya saya spontan. Tanpa saya sangka, suasana menjadi hening. Bapak tadi tersenyum kecil sambil memutar-mutar cangkir kopinya. Saya mulai menyadari bahwa pertanyaan saya tadi membuat matanya sedikit berkaca-kaca. “Saya sudah lama tak pulang. Lama sekali. Rasa rindu saya pada tanah air sungguh tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata” ungkapnya sambil menyeruput kopinya.

Momen kecil itu begitu membekas di hati saya, karena saya merasa bahwa mungkin perasaan beliau mewakili perasaan semua diaspora Indonesia, yakni orang-orang Indonesia yang tinggal di luar negeri, atau mereka yang punya keterikatan darah dan jiwa dengan Indonesia.

Saya sempat diundang ke Kongres I Diaspora Indonesia di Los Angeles 3 tahun lalu, yang digagas Dubes RI untuk AS waktu itu, Dino Patti Djalal adalah langkah besar untuk menyatukan hati, pikiran, dan sumber daya para Diaspora indonesia, yang terpisah jarak dan waktu dengan tanah air. Mereka boleh saja tinggal di Rusia, di Malaysia, di AS, di Jepang, di mana saja, namun hati mereka tetap Merah Putih, darah mereka tetap darah merah Nusantara, dan mereka akan selalu merasa terpanggil untuk membaktikan diri untuk tanah air yang mereka tinggalkan, dengan cara mereka. Meski secara fisik mereka tak ada di tanah air.

Menyatukan 10 juta diaspora Indonesia yang ‘tercecer’ di berbagai sudut dunia, bukanlah perkara mudah. Selain karena besarnya jumlah mereka (lebih dari 2 x lipat penduduk Singapura, lebih besar dari populasi Swedia atau Austria) dan begitu tersebarnya mereka, juga kadang mereka tidak mempunyai tempat mengadu ketika mereka mempunyai hal yang ingin diutarakan, atau kontribusi apa yang bisa mereka berikan untuk bangsa dan negara, atau bagaimana negara bisa memberikan asistensi dan menjalin hubungan yang berkesinambungan dengan mereka.

Namun ada juga yang merisaukan mereka.

Saya bertemu dengan Rahardian, orang Indonesia yang telah 9 tahun tinggal di Jepang. Saya cukup tertegun ketika dia mengatakan bahwa dia telah lama ingin pulang dan berkarya di Indonesia, terlebih di tanah kelahirannya, Bukittinggi di Sumatera Barat. Namun ada satu hal yang selalu membuatnya mengurungkan niatnya. “ Setiap saya melihat streaming berita di TV-TV nasional kita, atau membaca berita di media nasional kita secara online, sedikit sekali, hampir tidak ada yang positif, semua berisi kegagalan, kekacauan, intrik politik, dan lain-lain. Now tell me, what is there for me in Indonesia? ” katanya.

Saya sering mendapatkan pertanyaan serupa, bukan hanya dari saudara-saudara kita di luar negeri, tapi bahkan dari teman-teman di dalam negeri. Khusus untuk teman-teman di luar negeri, tentu saya tidak berniat untuk mengiming-imingi mereka untuk pulang ke tanah air, dengan mengatakan bahwa Indonesia sudah berbeda dengan Indonesia 10 tahun lalu, atau mengatakan bahwa Indonesia akan masuk dalam 10 besar kekuatan ekonomi dunia, atau hal-hal yang ‘menggiurkan lainnya. Tidak. Berkarya untuk bangsa, tidak harus dengan eksistensi secara fisik di tanah air. Saya katakan kepada mas Rahardian “Ibarat rumah, negeri kita atapnya ada yang bocor, lantainya ada yang berlubang, banyak rayap dan nyamuk, dan dindingnya perlu dicat ulang. Mari perbaiki bersama-sama. Karena ini adalah rumah kita”.

Saya kemudian membayangkan, betapa orang-orang Indonesia di luar negeri, adalah orang-orang mempunyai network, brain power dan kecintaan pada tanah air yang begitu besar dan selalu menyala-nyala. Membayangkan mereka berkarya untuk bangsanya secara terorganisir dan terkoordinasi, adalah membayangkan rumah bernama Indonesia yang dicintai dan dihargai banyak orang, termasuk para tetangga.

(image: villa bonna Bali)

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ