Perempuan Indonesia Di Balik Perpustakaan Ember

Written by Bagus Ramadhan Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

Tampak sebuah bangunan unik terlihat dari luar Jalan Bima (Taman Bima) kota Bandung. Secara sekilas bangunan tersebut agak berbeda dari bangunan kebanyakan. Ruang bawahnya hanya pelataran dengan bangunan diatasnya berbentuk kotak yang sebagian tertutup ‘balok’ putih mirip seperti sebuah otelo.

Siapa yang menyangka bahwa sebenarnya itu adalah sebuah bangunan microlibrary, sebuah perpustakaan kecil yang diresmikan oleh Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, pada Sabtu, 5 September 2015 silam. Perpustakaan mikro ini ternyata terbuat dari dari ember-ember bekas es krim. Dimanakah ember-ember itu? bila diperhatikan dengan seksama akan terlihat bahwa di dinding luar tingkat dua perpustakaan ini sejatinya adalah ember-ember tersebut.

Perpustakaan Mikro

Selain berguna sebagai saluran sirkulasi udara ruangan di lantai dua dinding ember-ember tersebut rupanya membentuk sebuah kode biner, jika diterjemahkan memiliki arti ‘buku adalah jendela dunia’.

Perpustakaan unik ini diresmikan dalam rangka untuk memberikan ruang pada warga kota Bandung agar giat membaca. Selain itu pelataran dilantai satu juga sering digunakan sebagai ruang acara-acara luar ruang untuk masyarakat berkumpul atau beraktifitas kolektif.

Bangunan ramah lingkungan ini adalah karya dari seorang arsitektur kelahiran Jakarta bernama Daliana Suryawinata. Arsitek perempuan asli Indonesia ini adalah seorang arsitek yang sudah dikenal di dunia internasional berkat karya-karyanya. Perempuan lulus sarjana dari Universitas Tarumanegara pada tahun 2002 silam ini merupakan pendiri dari Suryawinata Architecture and Urbanism (SHAU). Sebuah agensi arsitektur yang berusaha memberikan solusi desain yang melibatkan peran masyarakat dan lingkungan.

Daliana Suryawinata co-founder konsultan arsitek SHAU-Rotterdam dan Florian Heinzelmann Director SHAU, (Foto: swa.co.id)

Daliana Suryawinata co-founder konsultan arsitek SHAU-Rotterdam dan Florian Heinzelmann Director SHAU, (Foto: swa.co.id)

Dana, panggilan akrab Daliana, tercatat memulai karir profesionalnya ketika berada di Belanda dengan bergabung di Andramatin Architects dan Han Awal and Partners Architects. Setahun kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Berlage Institute, Rotterdam, Belanda dengan mengambil kuliah terkait arsitektur dan urbanisme. Seusai menamatkan studi, ia kemudian bekerja sebagai arsitek di beberapa kantor ternama di Belanda, seperti: OMA (Office for Metropolitan Authorities), West 8, MVRDV, dan USH.

Tidak sekdear bekerja, Dana pun banyak berinteraksi dengan para peneliti di di Berlage Institute, the Rotterdam Academy of Architecture, dan Delft University of Technology. Sehingga dirinya kemudian terdorong untuk melanjutkan studinya menuju jenjang doktoral atau Ph.D.

Di tahun 2008, Dana, Florian Heinzelmann dan Tobias Hofmann mendirikan SHAU. Perusahaan ini memiliki kantor di tiga negara seperti di Jerman yakni di Kota Munich, di Belanda di Rotterdam, dan di Indonesia sendiri berada di Bandung. Dana mengaku, dengan memiliki usaha sendiri, ia bisa menggali ide-ide kreatif dengan lebih bebas. Apalagi Dana dan Heinzelmann memiliki latar belakang arsitektur yang agak berbeda. Dana berlatar belakang arsitektur berbasis sosial dan desain urban sedangkan Heinzelman adalah arsitek yang beraliran ekologi dan organik.

Selain itu keinginan Dana yang kuat untuk meningkatkan kualitas bangunan di Indonesia utamanya di kampung halamannya, Jakarta akhirnya mendorongnya untuk membuka kantor SHAU di Indonesia setelah sebelumnya hanya ada di Belanda dan Jerman.

Dirinya percaya melalui penataan ruang yang tepat sebuah kota seperti Jakarta dan sekitarnya akan bisa menjadi kota yang layak untuk para warganya.

“Saya Pikir menjadi arsitek tidak untuk dilihat sebagai seorang pahlawan, namun mereka bisa menginisiasi sebuah preposisi baru yang harus dikolaborasikan dengan banyak orang, komunitas, pemerintah dan investor” ujar Dana

Melihat apa yang nampak pada perpusatakaan mikro tersebut, jelas bahwa bangunan ini mewakili filosofi yang dibawa oleh SHAU. Bangunan seluas 100 meter persegi tersebut dibangun selama 3 bulan dengan menghabiskan biaya sebesar Rp520 juta. Pembangunannya cukup lama sebab perlu waktu untuk mengumpulkan ember bekas sebanyak 2000 buah.

Daliana mengaku ide untuk pembangunan perpustakaan ini tidak diadopsi dari bangunan manapun. Ia bahkan berani menyebut bangunan dengan konsep tersebut adalah yang pertama di dunia. “Ini ide sangat unik, pertama di dunia, disusun dari 2000 ember es krim bekas,” ucap Daliana.

Adapun fasilitas yang terdapat di Miclib, antara lain koleksi buku pengetahuan umum, buku anak-anak, mainan tradisional, alat peraga PAUD, serta beragam kegiatan seperti knowledge sharing, story telling, English Club, dan Gemari Membaca.

rooang.com;swa.co.id;thejakartapos.com

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ