Sejuta Gajah di Tengah Indochina

Written by Akhyari Hananto Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

By Akhyari Hananto

Di sebuah sudut sungai Mekong yang permukaannya surut, di antara sisa-sisa bangunan kolonial Prancis yang masih berdiri, di bawah patung raja Souphanouvong yang berdiri tegak menghadap daratan Thailand di seberang sungai, saya melihat matahari mulai tenggelam dan meninggalkan rona merah di atas sungai terpanjang di Asia Tenggara tersebut. Pukul 5:30 sore, suasana sudah mulai lengang. Inilah ibukota negara yang paling lengang di antara negara-negara di semenanjung Indochina. Kota ‘kecil’ ini sedikit mengingatkan saya akan Phnom Penh, ibukota negara Kamboja yang saya tinggali selama beberapa lama. Tak seperti Phnom Penh yang mulai penuh sesak oleh kendaraan, Vientianne jauh lebih lengang, teratur, dan lebih bersih.

Saya berada di Vientianne, ibukota negara Laos, sebuah negeri di tengah-tengah Indochina yang dikepung  China di utara, Thailand di barat dan selatan, Kamboja di selatan, serta Vietnam di timur. Mungkin di sinilah titik pertemuan yang paling dramatis di Indochina yang menyerap  kebudayaan dan peradaban India dan China (asal nama Indochina). Negeri ini berjuluk “The Land of Million Elephants”, negeri sejuta gajah.

Vientianne menjadi kota yang penting bagi kerajaan Lane Xang (yang berarti “sejuta gajah”) pada tahun 1545. Setelah hancur diserbu oleh kerajaan Siam (kini Thailand), Vientianne kembali menjadi kota penting setelah Prancis menjadikannya ibukota salah satu protektoratnya, Laos. Kota yang dulunya sering disebut sleepy town ini kini adalah tempat tinggal bagi sekitar 800 ribu penduduk, dan menjadi kota terbesar di Laos.

Foto panorama That Luang di tengah Vientianne

Kota ini berada di pinggir sebelah barat daya di satu sisi Sungai Mekong yang meliuk-liuk terlihat dari udara. Entah sampai kapan suasana lengang dan menyenangkan di Vientianne akan bertahan, mengingat industri pariwisata begitu booming saat ini. Bayangkan saja, negara dengan populasi tak sampai 7 juta jiwa ini menerima sekitar 4.5 juta turis tahun lalu. Sebuah pencapaian luar biasa, dan kemungkinan dari sektor inilah Laos akan bisa mengejar ketertinggalan ekonomi dari negara-negara lain di Asia Tenggara yang lebih dulu maju.

Turis-turis yang datang ke Laos umumnya mencari suasana atau atmosfer Indochina yang jauh dari kesan metropolitan, dan tempat-tempat di Laos memang menawarkan hal tersebut. Selain itu, pemandangan hamparan padi luas, serta pedesaan yang masih memelihara keaslian bentuknya, menawarkan pengalaman yang sudah jarang didapati di negara-negara tetangganya. Selain itu, harga-harga di negara tersebut juga tergolong masih sangat murah dan terjangkau, lalu orang-orangnya yang sangat ramah pada tamu, kawasan pegunungan yang masih asli, serta peninggalan-peninggalan sejarah yang masuk daftar warisan dunia versi UNESCO.

Luang Prabang, ikon wisata Laos (visit-Laos.com)

Sektor pariwisata menjadi sektor paling utama menggenjot ekonomi Laos setelah pertanian.

Di samping itu, letaknya yang berada di tengah antara China dan Thailand, menjadikanya sangat strategis sebagai penghubung atau fasilitator perdagangan kedua negara yang ekonominya lebih maju tersebut. Laos memang sebuah negara daratan yang tak berbatasan dengan lautan, hal ini cukup membuat ekonominya cukup tertinggal dibanding tetangga-tetangganya yang mempunyai laut dan pelabuhan.

Tahun-tahun mendatang, ekonomi Laos diyakini akan makin tumbuh cepat (sejak 2008-2013, ekonomi Laos tumbuh 8% per tahun), karena negara ini akan dilewati jalur kereta api supercepat yang menghubungkan Kunming (China) dan Bangkok (Thailand), dan perjalanan darat dari Bangkok ke Vientianne bisa ditempuh dalam waktu 2.5 jam saja. Lebih dari 400 km track kereta supercepat ini akan melewati Laos termasuk (Vientianne), dan diyakini akan makin membuat ekonomi Laos makin cepat tumbuh dengan ditopang sektor perdagangan dan pariwisata.

 

Di sepanjang jalan di ibukota, saya melihat bahwa negara ini memang sedang dipersiapkan untuk berlari cepat. Gedung-gedung baru dibangun, jalan-jalan juga dibangun, infrastruktur juga mulai diperbaiki, dan sepanjang yang saya tahu, makin banyak orang yang bisa atau memahami bahasa Inggris. Rakyat Laos memahami betul bahwa jika mereka tidak siap, maka kesempatan besar di depan mata akan melayang.
Seorang kawan dari Laos yang saya temui di Vientianne mengatakan “ini momentum langka bagi rakyat kami. Kami tak akan melepaskannya” sambil menyunggingkan senyum. Dia merupakan salah satu orang yang begitu intens mengikuti perkembangan ekonomi negaranya. “Kalau mau melihat Vientianne yang lengang, ini lah saatnya. Sebelum terlambat, bawa lah kawan-kawan dari Indonesia untuk datang. Tak lama lagi, kota ini akan berubah cepat”.
Vat Sisaket, saksi sejarah Laos

Vat Sisaket, saksi sejarah Laos

Di kuil Vat Sisaket, saya termenung. Kuil yang dibangun pada 1818 inilah satu-satunya yang tersisa saat tentara kerajaan Siam menyerbu Vientianne pada 1828. Inilah kuil Buddha tertua di Laos. Inilah saksi bisa bagaimana Laos menjalani masa demi masa. Dan sepertinya, kuil ini sekali lagi akan menjadi saksi perubahan Negeri Sejuta Gajah ini memasuki jaman baru.
Mari kita tunggu
 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ