“Lost in Laos”

Written by Akhyari Hananto Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

By Akhyari Hananto

Mungkin tak banyak yang pernah menonton film ini. Dua orang dari Italia, bernama Daniella dan Paolo berkelana di tempat bernama Vang Vieng, untuk menjelajahi sungai dengan ban mobil (tubing), arung jeram, dan berwisata. Di sebuah sungai yang arusnya deras, mereka terbawa arus hingga jauh ke pedalaman, dan mereka tak lagi mengetahui di mana keberadaan mereka. Minus perbekalan dan perlengkapan, mereka berdua memulai perjalanan di tempat yang baru mereka ‘temukan’ tersebut, menjadi tamu di sebuah desa kecil dimana keduanya diterima secara hangat oleh penduduk setempat, dijamu dengan berbagai macam kerahamahan, kenyamanan. perhatian, dan kekeluargaan.

“Lost in Laos” (foto: cfagenova.it)

Dan cerita film “Lost in Laos” pun dimulai dari sini.

Film sepanjang 113 menit produksi sebuah perusahaan perfilman di Italia tersebut mempotret suasana pedesaan Laos yang hijau, pegunungan yang asri, persawahan yang luas, dan yang paling utama adalah keramahtamahan penduduk Laos yang mempesona keduanya.

Dan saya benar-benar mengalami serta merasakan keramahtamahan rakyat Laos, sejak saya mendarat di bandara Wattay, satu-satunya bandara internasional di Vientiane, ibukota negara tersebut, hingga saya pulang 5 hari setelahnya. Entah mengapa, saya merasa seperti  di Yogya, kampung halaman saya. Hampir semua orang yang saya temui (bahkan hanya berpapasan), seolah ingin menyapa saya atau tersenyum pada saya. Saya juga melihat, orang-orang Laos (setidaknya di Vientiane) begitu laid-back, tidak terburu-buru, dan selalu menghargai tamu. Benar, seperti di Jogja.

IMG_8037

Rakyat Laos sedang khidmat dalam Festival That Luang di Vientiane

Suatu malam saya pergi sendirian ke night market yang letaknya hanya 5 menit jalan kaki dari hotel tempat saya menginap di tepi Sungai Mekong. Hampir semua (if not all) pedagang yang saya temui tersenyum pada semua orang saat berpapasan. Mereka tak berusaha menawarkan dagangannya kepada para pengunjung. Mereka baru menawarkannya ketika ada yang mendekat dan melihat-lihat barang daganganya mereka.

Suatu waktu, saya mencari stop-kontak multi-plug di pasar tersebut. Perlu diketahui, penjual di pasar tersebut umumnya adalah pedagang pakaian, souvenir, dan perhiasan, mencari stok kontak di pasar tersebut seperti mencari obeng di toko roti. Ketika saya bertanya ke salah satu pedagang di mana saya bisa membeli stop kontak, salah satu dari mereka (yang paling bisa berbahasa inggris) mengantarkan saya ke sebuah sudut pasar yang cukup tersembunyi, di mana ada seorang pedagang (iya, hanya satu) menjual peralatan listrik. Setelah selesai mengantarkan saya, dia serta merta pamit dengan menyatukan tangan di depan dada dan menunduk.

Saya terpana dibuatnya. Di era sekarang, masih ada yang seperti itu, bahkan di ibukota sebuah negara. Saya baru menyadari, bahwadDalam beberapa budaya lokal di Laos, ada larangan untuk meminta apalagi mengemis, yang ada adalah perintah untuk memberi dan membantu. Saya merasa, masih banyak yang patuh pada local wisdom Laos tersebut.  Tak hanya sekali, seringkali saya bertemu orang-orang seperti mereka. Yang lebih mengagetkan saya, mereka ini adalah anak-anak muda yang rentan terpengaruh budaya-budaya dari luar. Saya memang bertemua banyak sekali anak muda di Laos, negeri ini adalah negeri “termuda” di Asia Tenggara, di mana rata-rata usinya adalah 21.6 tahun.

Penjual souvenir yang sangat ramah di Night Market, di tepi Sungai Mekong, Vientinae

Penjual souvenir yang sangat ramah di Night Market, di tepi Sungai Mekong, Vientinae

Negara ini sedang dilanda demam pariwisata, makin banyak turis asing yang masuk ke Laos, dan berpotensi ‘menggoyang’ nilai-nilai nasional Laos yang sangat dipengaruhi nilai-nilai Budha Teravada dan politeisme local, yang keduanya hidup damai berdampingan selama ribuan tahun. Ada sekitar 4.5 juta turis asing masuk ke negara berpopulasi 6,5 juta tersebut. Proporsi yang sangat besar, terutama bagi Laos yang belum lama ‘mengenyam’ liku-liku dunia pariwisata. Kita tunggu saja, meski tentu saya berharap, mereka mampu mempertahankan competitive advantage tersebut.

Meski begitu, sebelum terlambat, let’s get lost in Laos.

 

 

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ