Ibu, Sang Rindu

Written by Asrari Puadi Member at GNFI
Share this
0 shares
Comments
0 replies

kasih-ibu

 

Aku mengenal ibuku sejak belum lahir, sejak sebelum adaku. Dari dalam rahim, aku menerima asupan dari kebaikan-kebaikan yang diolahnya di dunia. Ia singkirkan keburukan-keburukan agar tak ikut kurasakan. Sesekali, kutendang perut ibu. Bukannya marah, ia justru senang dan membangga-banggakan gerak-gerikku kepada Ayah dan siapa pun di sekitarnya. Tumbuhku membuatnya semakin tak enak badan, tak nyaman bergerak, tak nyenyak tidur, dan semakin berat mengerjakan apa pun. Ketika sangat mulas dan merasa waktu kelahiranku sudah dekat, Ibu kuat menahan tangis dan bersegera mempersiapkan jiwa dan raga untuk bertaruh nyawa demi keselamatanku. Demi hidupku.

 
Hidupnya tidak lantas menjadi ringan setelah aku keluar dari dalam dirinya. Ibu masih harus menyusuiku sampai genap waktu. Bertambah bulan, bertambah repot tugas, kewajiban, dan tanggungjawabnya: menyuapi aku, mengurus kotoranku, memandikan aku, meminyaki tubuhku supaya hangat, menimangku hingga tidur, memilihkan pakaian yang cocok dengan suasana, mengingatkan orang-orang agar tidak berisik, dan entah apa lagi — tak terhitung. Ketika tiba masaku untuk bermain, ia rela menjual apa saja perabot rumah demi satu-dua mainan, menyisihkan nafkah dari Ayah untuk satu-dua permen yang kuminta dengan teriakan dan rengekan. Saat sudah harus bersekolah, ia mengantar-jemput aku melebihi kesetiaan siapa pun. Ia merapikan penampilanku.

 
Kini, Ibu telah tiada. Belum cukup kesanggupanku untuk menyenang-nyenangkan hatinya, dan memang tak ada yang sanggup menggantikan posisinya dan membalas jasanya yang tiada tara. Tidak baktiku, tidak pula kebanggaan yang telah kuusahakan untuknya. Justru, mengasuh cucu-cucu dari hasil pernikahan anak-anaknya adalah kesibukan berikutnya yang karenanya Ibu tak jadi beristirahat. Meski berkirim uang bulanan sepanjang hayat untuk ibu, aku takkan pernah bisa membeli jerih payahnya merawat dan membela anak tanpa rasa takut. Aku telah menyia-nyiakan Ibu dan beranggapan bahwa ia takkan tega meninggalkan aku dalam kekhawatiran. Aku salah dan terlambat menyadari kesalahan itu ketika Ibu telah berpulang.

 
Dulu Ibu menumpahkan darah dan mengerang kesakitan saat melahirkan aku, dan kini justru aku tidak berada di sisinya ketika menghadapi akhir masa. Ibu telah pergi dan takkan kembali. Ibu berpulang kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dari senyumnya yang terakhir, yang kulihat di roman wajahnya yang cerah namun telah berbaring di peti jenasah, bisa kurasakan betapa ia masih saja memberikan pelukan hangat. Seolah kudengar ia berbisik bahwa mati itu tidak apa-apa, tidak ada yang perlu diratapi. Jika kelahiran dirayakan, maka kematian tak selayaknya disangkal dengan jerit dan airmata. Aku mengantar Ibu hingga masuk liang lahat, mengatur posisi jasadnya, dan memastikan ia dalam sikap raga yang paling sempurna untuk menghadap Allah. Tentang kesiapan dan sikap jiwa, aku takkan pernah lebih hebat dari Ibu yang mengajariku tauhid sejak dini.

 
Aku mengenangnya sebagai pengantar yang setia, mengantarkan aku kepada pemahaman-pemahaman tentang iman, ilmu, dan amal; mendampingi aku menghadapi kesedihan, cobaan, dan kenyataan apa pun; membawaku kepada guru-guru untuk belajar tentang adab, sopan-santun, dan pengabdian. Ibu adalah sumber dari segala sumber ilmu, dan lebih dari cukup bagiku sesungguhnya untuk belajar kebaikan hanya darinya, namun ia rendah hati mendorongku ke sekolah-sekolah dan rumah siapa pun yang arif dan bijaksana tanpa harus menggurui kepada siapa pun yang belajar. Bagiku, ibulah mahaguru.

 
Ibu adalah bumi. Dari dalam, ia memberi hasil. Dari luar, ia mengajari berproses. Dari segala arah, apa adanya ia menerima. Bahasa Ibu adalah bahasa rindu. Bagaimana pun disakiti, ia senantiasa mencintai. Ibu rela untuk tidak lega. Ia tenang untuk mengalami kecemasan. Ibu memilih kata-kata yang paling tepat untuk menegur anak-anaknya tanpa merendahkan kehormatan mereka, pun tanpa menjatuhkan semangat. Ibu menerima anak-anaknya pulang ke pelukannya ketika menghadapi masalah, namun tak menuntut apa pun ketika dilupakan dan ditinggalkan ketika mereka bersenang-senang. Ibu tak pernah merasa berjasa, tak pernah meminta imbalan, padahal tak pernah percuma segala yang telah ia didik dan ajarkan.

 
Di atas segala-galanya, ada cinta. Di puncak-puncak cinta, ada rindu. Dan, ibu adalah cinta itu, sekaligus dialah sang rindu. Setia berdoa dalam sujud dan tengadah ketika tidak ada satu pun anak yang menanyakan kabarnya. Dalam diam pun Ibu berdzikir dan memintakan ampunan bagi buah hatinya dengan keyakinan bahwa,” jika benar maka itulah anakku, namun jika salah maka itulah kealpaanku.” Ibu menimpakan kesalahan atas perilaku dan perbuatan anaknya kepada dirinya sendiri dengan mawas diri yang paling hebat, yakni anak adalah hasil didikan Ibu. Di sisi lain, Ibu membanggakan prestasi anaknya dengan tawadhu terbaik bahwa anaknyalah yang telah berusaha keras untuk berhasil. ”Ibu cuma bisa berdoa, Nak, tak bisa memberi apa pun selain itu,” ucapnya lirih. Ibu, apakah doaku cukup untuk memeluk Ibu yang telah damai di PelukanNya? Ibu, masih bisakah aku memohon doamu? Dalam hidup, tak ada yang lebih baik dari Ibu. Tak ada.

Al-ummu Madrasatul Ula, Selamat Hari Ibu.

Disadur dari tulisan : @CandraMalik

 
0 comments
  Livefyre
  • Get Livefyre
  • FAQ